Buku, Kampus, dan Tiga Kepala Daerah
Budayawan Goenawan Mohammad pernah
menyangsikan ihwal nama universitas di Indonesia. Kata dia, kebanyakan nama
kampus merupakan nama pemimpin atau raja zaman terdahulu. Di antaranya ada nama
Gadjah Mada, Airlangga, Siliwangi, Diponegoro dan yang di Kota Malang
Brawijaya.
Mungkin karena nama inilah, simbol ’kekuasaan’
yang ada di kampus yakni rektorat kerapkali jauh lebih besar dan megah daripada
perpustakaan: tempat ilmu pengetahuan, sains, dan budaya literasi tumbuh.

Di Universitas Brawijaya, tinggi gedung
rektorat mencapai tujuh lantai dan perpustakannya hanyalah dua lantai. Di
Universitas Islam Negeri (UIN) Malang, lima lantai rektorat tentu tidak
sebanding dengan perpustakaan yang hanya tiga lantai. Di Universitas Negeri
Malang (UM), saat ini memang perpustakaan mereka masih lebih besar yakni tiga
lantai dan rektorat hanya dua lantai. Tapi, jangan salah, saat ini, UM sedang
mengebut pembangunan Graha Rektorat berlantai sepuluh.
Tentu saja terlalu culas jika membandingkan
ukuran gedung dengan keseriusan kampus dalam mengembangkan pengetahuan, buku,
dan budaya literasi. Tapi bagaimanapun, gedung perpustakaan megah dengan
koleksi buku yang lengkap akan menjadi pendorong bagi mahasiswa untuk
berlama-lama di perpustakaan. Terutama bagi mereka yang hobi pada dunia
literasi.
Ihwal gedung bertingkat antara rektorat dan
perpustakaan ini, biarkan pimpinan kampus masing-masing yang menjawab. Toh,
dalam dua tulisan sebelumnya di rubrik ini, Tengsoe Tjahjono dan Felix K.
Nesi masih berdebat perihal peran kampus dalam mencipta sastrawan dan budaya
literasi. Tengsoe menganggap kalau kampus tidak punya peran dalam menciptakan
sastrawan, sedangkan Felix mempertanyakan, lantas apa fungsi kampus dan
fakultas sastra kalau tidak ada gunanya dalam pembentukan sastrawan.
Menurut saya, sebagaimana kebudayaan lain,
budaya literasi merupakan tanggung jawab institusi seperti keluarga, sekolah,
kampus, dan pemerintah daerah. Jika kita punya anak yang rajin, kita beri
dongeng sesaat sebelum tidur, anak akan mempunyai keterampilan bercerita dengan
baik. Begitulah Freud, tokoh aliran Psikologi menjelaskan hal tersebut.
Jangan pernah kita meminta anak bercerita di hadapan
teman sekelas jika setiap hari anak-anak dijejali dengan kata-kata sampah,
cacian, dan pukulan. Itulah fungsi ayah dan ibu yang baik membentuk sastrawan
masa depan yang harus memiliki keterampilan bercerita.
Kepala Daerah di Malang
Soal literasi dan kekuasaan, saya tertarik
dengan foto halaman utama Jawa Pos tatkala Presiden Joko Widodo mulai mengemasi
barang-barangnya di Balai Kota DKI Jakarta untuk pindah ke istana. Yang masuk capture
fotografer Jawa Pos ketika itu adalah ketika Jokowi mengemasi buku-bukunya.
Meski hanya foto, tapi menurut saya, ini
contoh baik tentang prilaku pimpinan mereka. Yang dikemasi bukanlah tas Hermes
yang berharga ratusan juta, bukan pula jam tangan yang harganya diluar batas
kewajaran. Jokowi secara tak langsung memberi pelajaran, pemimpin, bagaimanapun
sibuknya harus tetap mengasah pengetahuan. Apalagi, belakangan Jokowi mengakui
kalau membaca merupakan salah satu hobinya selain berdagang.
Bagaimana dengan tiga kepala daerah di
Malang…? Adakah yang masih menyempatkan membaca..? Adakah motivasi bagi mereka
untuk meningkatkan budaya literasi di daerahnya….? Atau pertanyaan sedikit
beratnya, adakah kepala daerah yang memaparkan rencana pembangunan jangka
panjang dan menengahnya dengan menulis di media massa…?
Pertanyaan-pertanyaan ini biar tuan-tuan
kepala daerah dan waktu yang menjawab. Bisa menjawab dengan menjadi tauladan
yang baik, menulis di Ruang Scripta atau paling tidak mereka jawab dalam hati
mereka.
Namun, bagaimanapun harapan harus kita tujukan
pada tuan-tuan ini. Mereka punya kuasa, punya anggaran, dan tentu saja
ketokohan yang kuat. Dengan kewenangan mereka, Malang Raya bisa jadi sebagai
daerah literasi. Itu jika kepala daerah mempunyai komitmen, semisal pengadaan
untuk buku diperbesar daripada untuk pembangunan gorong-gorong, membuat
pelatihan menulis yang intens, atau alangkah menyejukan jika ketiganya mau
membuat gerakan membaca buku yang masif di setiap daerah.
Soal pembangunan, Jawa Pos Radar Malang
pernah membuat rembuk yang menghadirkan ketiganya. Soal literasi, saya kira
tidak ada salah jika komunitas sastra di Malang yang berjibun mengundang
mereka. Tujuannya, agar literasi tak lagi hanya menjadi bahan obrolan di warung
kopi atau perdebatan di media massa.
)
Komentar