Menyuarkan yang Tidak Bersuara
![]() |
sumber gambar: http://qyusader.blogspot.com |
Dunia
berjalan begitu cepat. Di era Jurnalisme dot com, portal berita berlomba
menjadi yang tercepat dalam menyajikan fakta. Akurasi dan kelengkapan berita
menjadi hal penting kesekian yang dikesampingkan.
Di
era ini, ucapan para pesohor tentang apapun bisa dengan mudah menjadi berita.
Hanya dengan tiga paragraf tulisan, gumaman para tokoh seringkali nangkring di headline portal berita. Kelengkapan
serta kedalaman semakin ditinggalkan oleh sebagian penganut jurnalisme dot com.
Meski, media cetak juga bisa saja meninggalkan dua hal ini.
Ditengah
yang cepat itu, kita membutuhkan oase.
Karena saya yakin, ditengah kesibukan masyarakat modern dan kelas pekerja,
masih banyak orang yang mau menghabiskan waktunya bermenit-menit untuk membaca
laporan jurnalisme yang panjang dan mendalam.
Disinilah,
jurnalisme tentang cerita manusia dan kemanusiaan menjadi penting ditengah
hujan informasi yang sepotong-potong. Kita membutuhkan informasi tentang
manusia yang menginspirasi. Yang bangkit dari kejatuhan, atau yang jatuh dari
kesuksesan. Bukan jurnalisme “katanya”, yang saat ini kian digandrungi.
Biasanya,
model tulisan seperti ini disebut dengan
futures yang banyak membahas tentang manusia atau kemanusiaan. Beberapa
waktu lalu, saya membaca tulisan tentang perjuangan Christie Damayanti. Seorang
yang terkena stroke diumurmya yang kurang dari 40 tahun.
Christie
bisa kembali bangkit setelah dia menuliskan cerita tentang penyakit yang dia
alami. Melalui Kompasiana, perempuan yang berprofesi sebagai arsitek ini
menceritakan suka dukanya. Sudah ada ribuan cerita yang dia tuliskan dan
mendapat apresiasi dari pemilik akun kompasiana.
Dalam
suatu kesempatan, Christie mengatakan kalau dengan menulis, harapan untuk hidup
selalu muncul. Karena, dari tulisannya itu, banyak sahabat yang belum pernah
dia kenal sebelumnya memberi semangat. Karena tulisan-tuliasannya juga, Cristie
permah diganjar penghargaan oleh kompasiana.
Tentu
saja, menulis dengan keadaan stroke bukan hal mudah bagi Christie. Hanya untuk
mengetik, tangannya sulit digerakan. Tiga hari penuh harus Christie habiskan
untuk merampungkan satu artikel. Empat hari setelah itu, Christie menimbang
tulisannya layak dibaca orang atau tidak.
Dan
ternyata, dengan menulis, Christie bisa berbagi tentang apa yang dialami,
komentarpun mengalir deras. Dan yang
terpenting lagi, Christie menjadi tahu banyak orang yang senasib dengan dirinya.”Menulis
membuat saya sadar bahwa saya memang cacat. Lalu kenapa? Saya tetap ingin
berguna sebagai manusia,” kata dia sebagaimana ditulis Panajournal.com.“Kenyataan
menjadi jelas setelah dituliskan karena tidak ada lagi yang ditutup-tutupi,”.
Begitulah
cerita tentang manusia bisa memberi inspirasi ditengah semakin tak manusiawinya
kehidupan. Mengutip istilah Jurnalis Senior Farid Gaban, Jurnalisme harus
menyuarakan yang tidak bersuara.
Yang
tidak bersuara ini bisa datang dari mana saja. Bisa seperti Christie yang ditengah keterbatasannya masih
bisa berbuat sesuatu. Atau bisa dari petani, nelayan, pedagang dan yang lain.
Pada
akhirnya, menyuarakan yang tidak bersuara adalah perjuangan agar wacana tidak
didomonasi oleh satu pihak. Tidak di dominasi oleh konglomerat, pejabat dan
wakil rakyat. Dari orang-orang itu, kita kerapkali hanya diberi janji dan
miskin inspirasi.
Harapan
bisa datang dari mana saja, termasuk dari yang selama ini suaranya jarang kita
dengar.
Komentar